Senin, 07 Januari 2008

Cerita dari tur wedus bagian 1: perjalanan

Akhirnya yangberangkat ke bangsari dari Stasiun Kota ada 9 orang. Gus Hadi Pitik, Kyai Iqbal Balibul, Ibun, 3 orang temannya Ibun (Gigih, Wildan, Yusuf), Mita, Vita (yang baru kami kenal secara fisik) dan saya sendiri. Mila hanya mengantarkan kami sampai kereta berangkat. Ada acara keluarga di Bandung esok harinya. Iqbal hampir saja ketinggalan kereta setelah sebelumnya terjebak macet dari serpong dan dia baru muncul 5 menit sebelumpemberangkatan. Kang pres memutuskan tidak ikut disebabkan sedang meriang selama seminggu, begitu juga istrinya. Yudi harus menyelesaikan proyek besarnya di kantor. Pito sedang terkena wajib pulang setelah liburan panjang sebelumnya harus ngendon di kantor. Meski begitu, dia sempat ikut menunggu rombongan kami berangkat dari kos kebon kacang. KW jauh-jauh hari sebelunya sudah mengabari tak bisa ikut. Sam Hedi sedang banyak pekerjaan plus tak bisa meninggalkan kebaktian akhir tahun. Begitu pun rombongan dari semarang (kecuali pepeng) dan jogja juga belum bisa bergabung.

Kereta berangkat jam 20:20. Kereta ekonomi jurusan Kroya. Sempat terjadi sedikit dialog antara balibul dengan penumpang lain yang tak mendapatkan jatah tempat duduk tapi menempati tempat duduk kami. Perawakan Iqbal yang tinggi gendut membuat mereka miris. Kami pun duduk dengan tenang. Tidak juga ding, nyatanya hampir semua tempat senderan tangan di gerbong kami juga dijadikan tempat duduk penumpang. Uyel-uyelan, panas dan sumuk, kereta berangkat.

Sepanjang jalan sampai dengan bandung, penumpang terus bertambah banyak dan sepertinya tidak ada yang turun. Mungkin karena bertepatan dengan libur 4 hari, yang tentu saja menjadi alasan bagi orang jakarta untuk keluar kota. Tapi kereta ekonomi sepanjang saya tahu memang tidak pernah kehabisan penumpang. Mau libur atau tidak tetap saja banyak penumpang. Di Bandung, Bahaudin tetangga saya yang (seperti kebanyakan pemuda sana) bekerja di perusahaan garmen, ikut bergabung.


Perjalanan ini tak beda dengan perjalanan-perjalanan pulang saya yang lalu. Teman-teman sepertinya kesulitan beradaptasi dengan kereta kambing ini. Mungkin tak pernah membayangkan kereta seperti ini ada di republik ini. Sepanjang jalan mereka terjaga. Ngobrol, ngopi, makan kacang, udud, mendengar pedagang (yang kata balibul lewat tiap 17 detik), menggoda bencong yang lewat dan misuh-misuh.

Dengan wajah pucat pasi karena tak tidur, kaki bengkak akibat tak bisa bergerak leluasa, badan lengket dan bau, kebelet kencing dan pup, serta lapar plus haus yang mendera, sampailah kami di Gandrung.
Waktu menunjukkan waktu jam 7 pagi. Waktu tempuh yang sama dengan kereta eksekutif mungkin sudah sampai ke ujung timur pulau jawa. Entahlah, saya belum pernah naik kereta mahal itu.

Dari stasiun Gandrung, kami naik bus ke Sitinggil. Sekitar 15 menit perjalanan. Di sini kami sempat mampir sebentar ke rumah kakak saya untuk meminjam motor. Dari Sitinggil jarak rumah saya masih 3 kilo lagi. Vita diboncengkan ibun dengan motor, dan Mita naik ojek. Gus pitik dan Kyai Balibul ngajak berjalan kaki sambil melemaskan otot. Yang lain mengamini. Jadilah kami bertujuh berjalan kaki.

Sepertiga jalan, warung mendoan di tepi saluran irigasi langganan saya sudah buka. Kami pun mampir. Pagi-pagi begini cocok sekali rasanya makan mendoan panas yang lebarnya seperti buku tulis itu sambil ngopi atau teh nasgitel. Namun karena jalan, berkeringat dan kehausan, kami semua memesan es teh. Hmmm... Mak nyus!
Bertujuh kami cuma habis 17 ribu untuk 11 mendoan (rupanya sudah naik jadi seribuan sebuah) dan 7 es teh (juga seribu segelas).

Sehabis ngemil, ibun dan adik saya datang menjemput dengan sepeda motor. Balibul dan Gus pitik dibonceng duluan, sisanya jalan kaki. Lumayan untuk melemaskan kaki.

Sesampainya di rumah, makanan sudah menunggu. Oseng-oseng belut bakar pedas, opor mentok, oseng-oseng pepaya, oseng-oseng tempe, lumbu kobis favorit dan mendoan menunggu disantap. Mandi dengan cepat dan sesudahnya kami pun makan. Badan lelah perut kenyang, kami pun tidur. Sekitar jam sepuluh kalo tak salah ingat, dan baru saya baru bangun jam setengah satu.

Saya bangunkan yang lain untuk sholat dan makan siang. Jam 2 siang, supir bu lik sudah siap menunggu di depan rumah. Selanjutnya, kami mengunjungi kambing-kambing itu.

Cerita terkait ada di sini, di sini, dan di sini plus di sini.

Maap baru posting sekarang. Seperti biasa, lagi ribet dengan pekerjaan. Versi videonya ada di kyai gembul.

Tidak ada komentar: