Selasa, 08 Januari 2008

Cerita dari tur wedus bagian 2: kunjungan kambing


Saat kami sampai ke bangsari, pinjaman kambing yang sudah disalurkan sebanyak 43 ekor. Adapun jumlah anak yang sudah mendapatkan pinjaman kambing adalah sebanyak 16 anak, 3 orang sedang dalam tahap tindak lanjut dan 2 anak sebagai cadangan. Daerah sebarannya meliputi: Karang reja (dusun yang saya tinggali), Cipaku ( di ujung timur bangsari, dekat hutan perbukitan), Medeng (sebelah Cipaku), Sidadadi (bersebelahan dengan dusun saya di arah barat), Cililing (sebelah barat Sidadadi) dan Jakatawa (dekat Sitinggil, di arah selatan). Saldo yang tersisa masih 3, 52 juta rupiah yang rencananya akan digunakan untuk 3 anak lagi dalam waktu dekat. Nama anak dan tempat tinggalnya adalah sebagai berikut:
  1. Cipaku (7 anak): Nur Huda, Amin Rido, Andriyanto, A. Baehaqi, Saefulloh, Nurotun Hasanah, Yasrofi
  2. Medeng (3 anak): Hamdan, A. Rubangi, Wifayatul Amani (1)
  3. Karangreja (2 anak): Irfan Sutrisno, Arif Faozi
  4. Sidadadi (2 anak): Bilkis Andiyah, Zaenuri
  5. Jakatawa (1 anak): Basirin
  6. Cililing (1 anak): Wifayatul Amani (2)
  • On Progress: Tukiran dan Samsul Maarif (Karangreja), Muhsinun (Petenanangan, dekat Gandrung Mangu)
  • Cadangan: Nasirotul Fajriyah (Karangreja), Umi Faizah (Medeng)
Catatan: terdapat 2 nama kembar dengan orang yang berbeda, atas nama Wifayatul Amani.

Sebagai tambahan informasi, semalam saya mendapat 2 pesan pendek dari rumah. Pesan pertama mengabarkan satu kambing jenis etawa yang dipelihara Arif Nurfaozi mati akibat keracunan pakan. Pesan kedua berisi berita gembira, kambing Wifayatul Amani (1) telah melahirkan 2 ekor jantan.

Laporan detilnya bisa diunduh disini.

Karena para penerima kambing tersebar di beberapa tempat di bangsari, kami mengunjungi mereka menggunakan mobil pinjaman berikut sopirnya dari bu lik dan 2 sepeda motor. Bapak saya, Iqbal, Hadi, 3 orang temannya Ibun (Gigih, Wildan, Yusuf), Mita, Vita mengendarai mobil. Saya, Ibun, mukhlis (adik saya) dan gembong (adik ipar saya), serta baha (tetangga rumah) mengendarai sepeda motor. Tujuan pertama adalah dusun Cipaku dan Medeng, sekitar 2 kilometer dari rumah saya. Di sini ada 7 murid yang menerima pinjaman. Daerah ini relatif tertinggal dibanding daerah lain di bangsari. Sedangkan Medeng bersebelahan dengan Cipaku, juga masih dekat dengan hutan. Di sini ada 3 murid yang menerima pinjaman kambing.

Baru saja hendak sampai di tujuan, pepeng saya mendapat telpon dari pepeng. Begitu saya angkat telpon, terdengar suara dari seberang sana.


"Saya sudah sampai sitinggil nih. Gimana?"
"Lha maunya gimana?"
"Ya dijemput no...."
"Ok. Segera menuju tekape. Sendiri pa sama temen?"
"Sendiri."
"Sip"
Klik! Telpon pun dimatikan dan saya meluncur menjemput pepeng yang baru tiba dari semarang. Begitu ketemu, saya salami dan langsung nangkring di belakang saya. Melewati rumah saya, saya tawari:

"Makan dulu ndak?"
"Ndak, masih kenyang"

Eh, dii tengah jalan tiba tiba dia bilang:
"Dari pagi perutku ndak kemasukan nasi. Laper nih..."
Gubrak!
"Jadi, balik nih?"
"Mmm... Ngga usah deh. Ntar aja, ngga papa"

Perjalanan pun dilanjutkan. Alhasil, saya ketinggalan kunjungan. Terus terang, selain penerima pertama tidak satupun dari daftar yang bapak saya beri saya kenal sebelumnya. Nama-nama itu sendiri dikumpulkan bapak bersama dewan guru. Jadi, saat saya sampai, saya tak tahu anak keberapa dan nama yang sedang dikunjungi. Balibul punya rekaman videonya lengkap.

Dari Cipaku, kami menuju medeng. Anak pertama adalah Wifayatul Amani. Dia sedang membantu ibunya memasak di dapur. Saya sempat menuju dapur dan sempat menyapa neneknya yang sedang terbaring sakit di dipan dekat meja makan yang kosong.

"Ngga sakit kok. Cuma terkena seng dan susah dibawa jalan. Kalo dibawa jalan sakitnya terasa sampai ke perut", katanya.
"Langsung ke dokter ya. Semoga cepat sembuh."

Waktu sudah menunjukkan jam 4 sore dan langit bermendung tebal. Kami segera pamit untuk mengunjungi Rubangi dan Hamdan. Seperti sudah diceritakan pada seri pertama, rumah mereka bersebelahan. Di rumah Rubangi kami mendapati satu-satunya kambingnya (bukan kambing dari program ini) yang baru beranak di ruang tamu. Ya, di ruang tamu sebelah meja dan tempat duduk tamu. Ruang tamu yang sekaligus berfungsi sebagai kamar tidur, tempat jemuran dan tempat sepeda. Setelah ngobrol sebentar, kami pun pamit. Ternyata ibunya sempat menyuguhi kami semua segelas teh panas. Lumayan untuk menghilangkan haus dan menghangatkan badan. Hujan mulai turun dan kami harus bergegas. Setelah menyeruput teh, kami menuju hamdan.

Rumah Hamdan cuma berjarak sekitar 50 meter. Dia dan 2 saudaranya yatim. Seperti kebanyakan daerah situ, ibunya buruh. Hujan yang semakin deras dan waktu yang sudah jam 5 membuat kami menyudahi kunjungan ini.

Saya berencana esok harinya kita mengunjungi sisanya, sekitar 6 orang lagi plus 3 orang yang dalam proses. Namun teman-teman yang lain punya pandangan lain.
"Kunjungan sudah cukup merepresentasikan, jadi beso ke Nusakambangan saja", usul salah satu.
"Betul", kata yang lain serempak.
"Ok, besok kita kesana."
Dasar ngga mau rugi, bilang aja pingin jalan-jalan. hehehe

Saya langsung teringat pada blogger cilacap ini. Untuk minta panduan dan minta makan-makan gratis. Memanfaatkan keseleban kami tentunya. hehehehe.

Bagi yang ingin tahu lebih lengkapnya, bisa menghubungi panitia.
Cerita terkait ada di sini, di sini, dan di sini plus di sini.
Laporan detilnya bisa diunduh disini.

Baca Selanjutnya ......

Senin, 07 Januari 2008

Cerita dari tur wedus bagian 1: perjalanan

Akhirnya yangberangkat ke bangsari dari Stasiun Kota ada 9 orang. Gus Hadi Pitik, Kyai Iqbal Balibul, Ibun, 3 orang temannya Ibun (Gigih, Wildan, Yusuf), Mita, Vita (yang baru kami kenal secara fisik) dan saya sendiri. Mila hanya mengantarkan kami sampai kereta berangkat. Ada acara keluarga di Bandung esok harinya. Iqbal hampir saja ketinggalan kereta setelah sebelumnya terjebak macet dari serpong dan dia baru muncul 5 menit sebelumpemberangkatan. Kang pres memutuskan tidak ikut disebabkan sedang meriang selama seminggu, begitu juga istrinya. Yudi harus menyelesaikan proyek besarnya di kantor. Pito sedang terkena wajib pulang setelah liburan panjang sebelumnya harus ngendon di kantor. Meski begitu, dia sempat ikut menunggu rombongan kami berangkat dari kos kebon kacang. KW jauh-jauh hari sebelunya sudah mengabari tak bisa ikut. Sam Hedi sedang banyak pekerjaan plus tak bisa meninggalkan kebaktian akhir tahun. Begitu pun rombongan dari semarang (kecuali pepeng) dan jogja juga belum bisa bergabung.

Kereta berangkat jam 20:20. Kereta ekonomi jurusan Kroya. Sempat terjadi sedikit dialog antara balibul dengan penumpang lain yang tak mendapatkan jatah tempat duduk tapi menempati tempat duduk kami. Perawakan Iqbal yang tinggi gendut membuat mereka miris. Kami pun duduk dengan tenang. Tidak juga ding, nyatanya hampir semua tempat senderan tangan di gerbong kami juga dijadikan tempat duduk penumpang. Uyel-uyelan, panas dan sumuk, kereta berangkat.

Sepanjang jalan sampai dengan bandung, penumpang terus bertambah banyak dan sepertinya tidak ada yang turun. Mungkin karena bertepatan dengan libur 4 hari, yang tentu saja menjadi alasan bagi orang jakarta untuk keluar kota. Tapi kereta ekonomi sepanjang saya tahu memang tidak pernah kehabisan penumpang. Mau libur atau tidak tetap saja banyak penumpang. Di Bandung, Bahaudin tetangga saya yang (seperti kebanyakan pemuda sana) bekerja di perusahaan garmen, ikut bergabung.


Perjalanan ini tak beda dengan perjalanan-perjalanan pulang saya yang lalu. Teman-teman sepertinya kesulitan beradaptasi dengan kereta kambing ini. Mungkin tak pernah membayangkan kereta seperti ini ada di republik ini. Sepanjang jalan mereka terjaga. Ngobrol, ngopi, makan kacang, udud, mendengar pedagang (yang kata balibul lewat tiap 17 detik), menggoda bencong yang lewat dan misuh-misuh.

Dengan wajah pucat pasi karena tak tidur, kaki bengkak akibat tak bisa bergerak leluasa, badan lengket dan bau, kebelet kencing dan pup, serta lapar plus haus yang mendera, sampailah kami di Gandrung.
Waktu menunjukkan waktu jam 7 pagi. Waktu tempuh yang sama dengan kereta eksekutif mungkin sudah sampai ke ujung timur pulau jawa. Entahlah, saya belum pernah naik kereta mahal itu.

Dari stasiun Gandrung, kami naik bus ke Sitinggil. Sekitar 15 menit perjalanan. Di sini kami sempat mampir sebentar ke rumah kakak saya untuk meminjam motor. Dari Sitinggil jarak rumah saya masih 3 kilo lagi. Vita diboncengkan ibun dengan motor, dan Mita naik ojek. Gus pitik dan Kyai Balibul ngajak berjalan kaki sambil melemaskan otot. Yang lain mengamini. Jadilah kami bertujuh berjalan kaki.

Sepertiga jalan, warung mendoan di tepi saluran irigasi langganan saya sudah buka. Kami pun mampir. Pagi-pagi begini cocok sekali rasanya makan mendoan panas yang lebarnya seperti buku tulis itu sambil ngopi atau teh nasgitel. Namun karena jalan, berkeringat dan kehausan, kami semua memesan es teh. Hmmm... Mak nyus!
Bertujuh kami cuma habis 17 ribu untuk 11 mendoan (rupanya sudah naik jadi seribuan sebuah) dan 7 es teh (juga seribu segelas).

Sehabis ngemil, ibun dan adik saya datang menjemput dengan sepeda motor. Balibul dan Gus pitik dibonceng duluan, sisanya jalan kaki. Lumayan untuk melemaskan kaki.

Sesampainya di rumah, makanan sudah menunggu. Oseng-oseng belut bakar pedas, opor mentok, oseng-oseng pepaya, oseng-oseng tempe, lumbu kobis favorit dan mendoan menunggu disantap. Mandi dengan cepat dan sesudahnya kami pun makan. Badan lelah perut kenyang, kami pun tidur. Sekitar jam sepuluh kalo tak salah ingat, dan baru saya baru bangun jam setengah satu.

Saya bangunkan yang lain untuk sholat dan makan siang. Jam 2 siang, supir bu lik sudah siap menunggu di depan rumah. Selanjutnya, kami mengunjungi kambing-kambing itu.

Cerita terkait ada di sini, di sini, dan di sini plus di sini.

Maap baru posting sekarang. Seperti biasa, lagi ribet dengan pekerjaan. Versi videonya ada di kyai gembul.

Baca Selanjutnya ......